Skip to main content

Sebuah Pena Menulis Jejak Asing





Sebuah Pena Menulis Jejak Asing :

Di sebuah ruang tamu, terdapat beberapa kursi kayu berwarna dan satu buah meja kayu jati tua yang mulai termakan usia.  Ia membenarkan beberapa posisi kursi tersebut agar terlihat rapi. Terdengar suara dari kejauhan memanggil namanya. Perlahan iapun menoleh kearah suara tersebut. Dilihatnya sesosok perempuan paruh baya menghampirinya. Ternyata dia adalah ibuku. Lama sekali aku tak berjumpa dengannya. Terasa ada yang aneh dan haru dalam hati. Mengapa ia tak menghubungi ku lebih dulu, ketika hendak ingin mengunjungi ku kesini. Mata ku tak bisa berpaling dari pandangan ini, senyumku semakin lebar terlihat, dan tak terasa mata ku mulai berkaca. Akupun beranjak dan berlari menghampirinya, aku tak tega melihatnya membawa beberapa bawaan yang berat seperti itu, dan akupun segera memeluknya. “ibu, kenapa tak telfon aku kalau mau kesini?” bisik ku pelan, dengan berderai air mata yang tak dapat ku tahan. Iapun mengelus punggungku dengan sangat lembut dan mencoba menghapus air mataku. “maafin ibuk ya sayang, ibuk tak berkabar dulu menghampiri mu kesini, ibuk cuma nggak mau merepotkan mu saja..” jawabnya. Semakin erat ku memeluknya.. “tak ada yang merepotkan bagi ku untuk ibu, lain kali hubungi aku dulu ya, nanti aku akan jemput ibuk..” pinta ku. Sesegera aku memintanya untuk duduk dan beristirahat. Ku bawa semua barang bawaannya menuju kamar, dan aku bergegas membereskan beberapa barang yang masih berserakan di kamar, dimana nanti akan ditempati untuk ibu beristirahat.  “tunggu sebentar ya buk, istirahat duduk – duduk saja dulu disitu, aku masih bereskan  kamar dan barang bawaan ibuk”. Setelah ku membereskan kamar, akupun segera ke dapur untuk membuatkannya minuman hangat dan mengambil beberapa cemilan untuknya, dan akupun kembali menghampirinya. “ayo diminum dulu buk..”. Banyak hal yang kita bicarakan saat ini, cerita lucu yang menggelitik, dan curhatan ku sebagai anak rantauan, yang membuatnya selalu merasa tak bosan untuk mendengarkan cerita ku. “ aku mau tidur dengan mu bu hari ini, boleh??” minta ku dengan manja, dan iyapun tersenyum  mengiyakan.

Sudah lama aku mengadu nasib di kota ini. Banyak kenangan manis dan pahit yang sudah ku lalui. Jauh dari orangtua, jauh dari sedapnya masakan ibu, jauh dari perhatiannya. Ada saja hal yang membuat ku terhalang untuk kembali ke kampung halaman. Bukan karena tabungan tak cukup. Bukan karena hati tak tergerak untuk merindu kembali pulang. Tapi, kekesalan pada diriku sendiri. Waktu karena pekerjaan inilah yang menghalangi langkah ku. Aku tau ini hanyalah alasan yang tak berarti sama sekali.

Setiap kali kami berbincang, pertanyaan yang selalu ibu tanyakan pada ku, “dekat dengan siapa sekarang kamu Aira? masak tak ada sedikit kabar tentang itu?” Jujur, untuk hal ini, maaf ya bu, aku belum bisa memberi kabar bahagia, setidaknya melunturkan segala kekhawatirannya tentang ku, tentang kesendirianku. Memang belakangan ini aku tak sedikitpun tertarik untuk memikirkan laki-laki dan pernikahan. Rasa sakit yang baru saja menghampiri ku, membuat ku penat, lelah, dan sejenak tak mudah percaya lagi dengan, apa arti komitmen dalam sebuah pernikahan. Belum ada laki-laki yang dapat membuat ku mudah untuk membuka hati ini lagi. karena yang ku tahu, mereka hanya sekedar singgah dan tak memberi kepastian. Ada juga yang menawarkan keyakinan, tapi selalu bertingkah untuk membuat ku merasa ragu, dan mengetahui segala kekurangan ku, menjadikan itu sebagai hal yang membuatku merasa hina dihadapannya. Entahlah, harus berapa lama lagi aku terperangkap dari bayang-bayang mengerikan seperti ini. Aku tak banyak bercerita tentang perasaan cinta kesiapapun, hanya mengadu dalam do’a, dan aku tahu, beberapa dari kawan lama yang mendengar keluh kesah ku tentang perkara ini, mereka akan mengatakan, "buang saja perasaan itu jauh-jauh, pakai itu logika dan akal sehat mu!" Mungkin inilah yang membuat ku benar-benar belum mau lagi membuka hati.

Pagi ini tak seperti biasanya. Pukul 04:00 pagi, aku terbangun dari tidur ku. Aku tak melihat ibu ada di sampingku, kemana dia?. Bergegas ku segera bangkit dari tempat tidur, ku coba melangkahkan kaki menuju dapur, ia tak ada disana, ku coba mencarinya di setiap ruang dalam rumah ini, ia tak ada juga, kemana ibuk???. Apa semalam aku hanya mimpi ibuk menghampiriku?. Waktu sudah memasuki adzan subuh. Kekhawatiran ku semakin menjadi. Ku hubungi ibu, tak ada jawaban sama sekali, dan tak terdengar nada dering handphone miliknya di rumah ini. Ku hentikan sejenak pikiran yang semakin membawa ku khawatir, dan aku menyegerakan sholat subuh terlebih dulu. Seusai sholat, aku mulai mencarinya lagi. Ku coba menanyakan ke beberapa tetangga, tak satupun mereka melihatnya. Semakin sesak sekali rasanya. Badan terasa lemas. Tapi tunggu, “aku melihat ada yang aneh disini. Bukannya aku tak melihat lagi barang bawaan ibuk?. Kenapa ibuk pergi cepat sekali?. Tak biasanya ada makanan tersedia sudah di dapur tadi. tapi  kenapa orang-orang disini tak melihat langkah ibu ku?!”. Gumam ku dalam hati. Dengan perasaan resah, emosi, dan bingung, akupun kembali ke rumah.
Sekembalinya aku ke rumah, aku baru melihatnya. Melihat secarik kertas di dekat pajangan telfon kuno yang pernah aku beli di jogja beberapa bulan yang lalu. Tak sanggup sudah aku membukanya. Rasa kecewa dan sedih yang masih menyebar dalam hati, masih tetap memaksa ku untuk harus membuka dan membacanya.

“ Aira maafin ibu harus pergi lebih dulu sepagi ini, ibu sudah siapkan sarapan untuk mu. Jaga diri baik-baik ya nak. Ibu selalu doa yang terbaik untuk Aira. Maaf ibu tak banyak menceritakan ke Aira tentang kondisi ayah sekarang. Doakan ayahmu selalu ya. Kalau abang mu main ke Surabaya, tolong kabari ibu ya nak. Assalamualaikum sayang..” Tak banyak hal yang bisa ku lakukan sekarang. “Tenang Aira, kapan kau akan kembali pulang?” Seakan ada yang membisiki ku seperti ini. Ku tarik nafas dan ku hembuskan dalam-dalam, inilah sepenggalan cerita tentang diriku.

.
.
Perkenalkan, nama ku Aira, aku terlahir di kota Tasik, Jawabarat. Ya, aku dan ke tiga abang ku terlahir di kota ini. Alhamdulillah, aku berada di keluarga yang berkecukupan. Cukup untuk membuat kami ber-empat kenyang, nyaman untuk tidur, dan orang tua selalu ada dalam setiap kehidupan kami, itu sudah lebih dari cukup untuk kami merasa bahagia. Pada suatu ketika, kejadian yang membuat hidup kami awalnya terasa tentram, kini perlahan berubah. Seusai aku bermain di luar rumah, dan aku kembali pulang. Aku mendengar sesuatu dari balik cendela di taman rumah. Sepertinya ayah dan ibu sedang berseteru. Aku tak begitu tahu banyak tentang apa yang mereka bicarakan. Di usia ku yang belum genap 5 tahun, aku hanya terdiam saja, dan menunggu abang ku pulang setelah usai bermain, karena aku takut untuk masuk ke dalam rumah dengan kondisi mereka sedang cekcok disana. Tak berapa lama, aku melihat ayah keluar dari rumah, dengan penampilan seperti mau berpergian jauh. Memakai jaket kulit coklatya dan celana jins, bersiap-siap untuk memakai sepatu dan membawa 1 tas ransel dan 1  tas koper. “ayah mau pergi kemana itu?” Bisik ku dalam hati. Akupun langusug berlari kecil menghampirinya dan berteriak, “ayah tunggu aira…!.” Ayah menoleh ke arah ku. “ayah mau kemana, aira boleh ikut ayah.. tunggu abang pulang ya yah, mereka pasti mau ikut ayah juga..” pinta ku dengan polosnya. Ayah langsung menggendong ku dan mengecup pipi ku. “aira sama abang jaga ibu di rumah baik-baik ya. Ayah harus kerja, in sha Allah ayah nggak akan lama. Nanti kalau ayah pulang, aira mau ayah bawain apa oleh-olehnya?boneka? sepatu? baju?” Dengan ku pasang muka sedih layaknya ekspresi kejujuran dan kepolosan anak-anak, aku hanya menjawab, “aku nggak mau ayah pergi lama ya.. ayah pulangkan nanti?” Dia hanya tersenyum dan mengusap rambutku pelan, “In sha Allah ya nak..” tak banyak kata yang ku dengar, hanya itu saja, dan iapun bergegas meninggalkan ku. Lambaian tangannya yang semakin jauh ku pandang. Benar, ayah telah pergi meninggalkan kami. 
Banyak pertanyaan dari abang ku sebenarnya, “kemana ayah pergi bu?” “ayah tak memberi tau kami sama sekali, aira pasti tau ini!!” dengan nada tingginya seolah ingin memarahi ku. “sudah-sudah, adik mu tak tahu apa-apa. Lebih baik diam saja dulu, bereskan kamar dan persiapkan barang untuk sekolah besok, ayoo!”, jawab ibu. Tak biasanya aku melihat pemandangan dan suasana rumah seperti ini. Ku melihat abang ku satu persatu, mereka masih sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Aku ingin menghampiri ibu, tapi aku tak berani. Ibu masih terlihat gelisah, sedih yang tergambar jelas di wajahnya. Ku bergegas masuk ke kamar dan memainkan sebuah boneka lama ku. Boneka ini dari ayah, ia  membelikannya untuk ku, saat ayah mengajak ku ke pasar malam. Boneka beruang berwarna merah jambu, yang sudah banyak jaitan di tubuhnya. Tapi entahlah, kenapa aku masih suka bermain dengan boneka ini.

Hari demi hari berlalu, berganti bulan dan tahun, kini usia ku sudah beranjak 20 tahun. Ke-dua abang ku sudah merantau dan menikah juga, mengadu nasib di kota lain. Kini hanya ada aku, ibu dan abang ku yang terakhir. Sudah terbiasa yang kami jalani sampai detik ini tanpa ayah. Apakah kami sudah lupa rasanya sosok kehadiran seorang ayah?. Bagi ku tidak, walaupun kurang dari 5 tahun aku merasakan kehadiran sosok ayah. Hanya ada rindu yang tak terucap. Setiap kali ku menanyakan pada ibu, kemana ayah pergi. Ibu enggan untuk mengatakannya. Sedih dan kecewa yang selalu berkecamuk dalam hati. Sampailah pada titik puncak kekesalan ku pada keadaan, kini aku memutuskan untuk pergi dan mencari pekerjaan di kota besar. Barangkali aku bisa menemui ayah. Lagi-lagi doa dan harapan yang tak pernah putus tentangnya. Karena kekesalan ku inilah, ibu mengizinkan ku untuk pergi ke Surabaya. Mungkin ia tau dan mengerti apa yang aku rasakan. Tak banyak yang bisa kita lakukan. Kondisi keuangan kami sejak kepergian ayah benar-benar berubah. Kepergian ayah telah merubah semuanya. 

Tak terasa sudah 8 tahun aku menghabiskan waktu ku di kota ini. Masih terlena dengan kesibukan pekerjaan, dan gemerlapnya malam kota Surabaya. Walaupun begitu aku tak pernah melupakan tugas ku sebagai seorang anak. Setiap bulan masih rutin aku selalu memberikan sebagian hasil kerja keras ku untuk ibu disana. Namun, masih sesekali aku memberinya kabar, jika aku tak benar-benar merasa lelah. Ini yang sebenarnya aku sesali. Sampai aku melihatnya ia menghampiriku ke Surabaya, tanpa memberi tau ku terlebih dahulu. Aku tau aku salah, tak seharusnya aku merangkai alasan untuk tak kembali pulang menemuinya.

Pada suatu ketika, tiba-tiba saja aku bermimpi, melihat sosok laki-laki yang sedang duduk di sebuah kursi taman, dengan hamparan taman yang penuh dengan daun – daun musim semi yang berguguran. Dia mulai beranjak dari kursi itu dan perlahan langkahnya semakin menjauh dan menjauh. Sontak mimpi ini membuat ku terbangun dan nafas ku terengah seperti selesai berlari maraton. Ya Allah, kemana ayah, kemana dia?, batin ku. Ku coba kembali untuk tidur dengan perasaan tak menentu. Disini masih ada rindu yang tak bisa di ungkap.

Waktu terus berjalan, rasanya ingin sekali ku mengundurkan diri dari pekerjaan, yang selama ini banyak membantu ku dalam masalah keuangan, masalah hutang, yang kini alhamdulillah, sudah lunas terbayar. Kota yang dipenuhi dengan kenangan dan perjuangan ku, apa aku benar-benar sudah ingin pergi atau hanya untuk sementara waktu?. Lagi-lagi bimbang kembali menyapa. Hanya ada satu orang yang benar-benar menunggu kehadiran ku disana. Tapi kenangan sosok ayah, dan pahitnya akan janji yang teringkari, membuat langkah ku sedikit berat untuk kembali pulang. Aku kehilangan sosok ayah, bahkan untuk selamanya. Merasa iri aku mendengar mereka yang masih merasakan peran ayah dalam hidupnya. Geram aku melihatnya, jika ada mereka yang memilih menghabiskan waktunya, dengan tujuan, bukan untuk orang tuanya. Apalagi ada beberapa cerita yang sempat aku temui, mereka menyadari kehadiran sosok ayah, tapi merasa tawar akan kehadirannya. Aku tak berhak menyalahkan siapapun, apalagi menyalahkan kehendak Tuhan untuk ku.  Buat engkau atau siapapun terkhususnya laki-laki, yang mereka atau kita butuhkan bukan sehebat apa pekerjaan mu, bukan sehebat apa jabatan mu. Kita, hanya butuh, engkau benar-benar hadir dalam hidup kami. Tanggung jawabmu begitu berat, kita sadari itu. Tak menuntut mu banyak hal. Kecukupan bagi kami ini hanya dalam hal sederhana. Sesederhana yang hanya ingin kau kembali pulang, bukan sekedar materi.



Comments

  1. "Hanya ada satu orang yang benar-benar menunggu kehadiran ku disana. Tapi kenangan sosok ayah, dan pahitnya akan janji yang teringkari, membuat langkah ku sedikit berat untuk kembali pulang. Aku kehilangan sosok ayah, bahkan untuk selamanya. "

    maafkan beliau, dan selalu doakan beliau dalam segala kesempatan.

    ......................................................................

    "Buat engkau atau siapapun terkhususnya laki-laki, yang mereka atau kita butuhkan bukan sehebat apa pekerjaan mu, bukan sehebat apa jabatan mu. Kita, hanya butuh, engkau benar-benar hadir dalam hidup kami. Tanggung jawabmu begitu berat, kita sadari itu. Tak menuntut mu banyak hal. Kecukupan bagi kami ini hanya dalam hal sederhana. Sesederhana yang hanya ingin kau kembali pulang, bukan sekedar materi."

    Sebenarnya, bagi laki-laki / seoarang ayah dalam rantauan, ada rindu yang selalu terpendam, ada keinginan untuk melunasi janji, dan ada keinginan untuk selalu bisa pulang.

    https://www.youtube.com/watch?v=VZwkOcu2xoo

    ...........................................

    ReplyDelete

Post a Comment